Nun, Perahu Kehidupan yang Sedang Berlayar Menuju Muara-Nya: Ikang Fawzi dan Marissa Haque

(1) Mempertahankan Pernikahan; (2) menjaga perkawinan; dan(3) Merawat Cinta-kasih, sejak menikah siri di Desa Gekbrong, Sukabumi pada 3 Juli 1986 & di Catat Negara pada 12 April 1987.

Jakarta 12 April 1987, Pernikahan Resmi Ikang Fawzi & Marissa Haque

Jakarta 12 April 1987, Pernikahan Resmi Ikang Fawzi & Marissa Haque
Tercatat Resmi di KUA Jakarta Selatan, Ijab & Kabul di Jl. Lapangan Roos Raya 36, Tebet Utara, Jaksel (Rumah Orang Tua Marissa)

Damai dan Sentosa serta Kompak Lahir dan Bathin Keluarga Ikang Fawzi & Marissa Haque

Damai dan Sentosa serta Kompak Lahir dan Bathin Keluarga Ikang Fawzi & Marissa Haque
Damai dan Sentosa serta Kompak Lahir dan Bathin Keluarga Ikang Fawzi & Marissa Haque

Total Tayangan Halaman

Nun, Perahu Kehidupan yang Sedang Berlayar Menuju Muara-Nya: Ikang Fawzi dan Marissa Haque

Premis Cinta Kami Menjadi Kekasih Allah Azza wa Jalla (Ikang Fawzi & Marissa Haque, dari dulu hingga kini)

Lagu: "Panggilan Jiwa" (Ikang Fawzi dan Candra Darusman/Anak-anak Deplu RI)


The First and the Last, Marissa Haque Menyanyi Rekaman bersama Fariz RM



Rabu, 29 Agustus 2012

Ikang Fawzi: Dua Jam Membaca (untuk Marissa Haque)

Ikang Fawzi: Dua jam membaca

Oleh Rahmayulis Saleh
Ikang Fauzi (antara)
Sumber: http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/ikang-fawzi-dua-jam-membaca

Musisi dan penyanyi rock Indonesia ini sejak kecil sudah akrab dengan buku. Sebagai anak seorang  diplomat yang sering mengikuti tugas ayahnya di beberapa negara, Ahmad Zulfikar Fawzi atau lebih dikenal dengan nama Ikang Fawzi, menjadikan buku dan berkesenian sebagai pengisi waktu luangnya selain belajar.

Laki-laki kelahiran Jakarta, 23 Oktober 1959, ini menghabiskan masa kecilnya di luar negeri. Dia menjalani sekolah taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar di Belgia dan Jepang, mengikuti ayahnya Fawzi Abdulrani, yang waktu itu menjadi diplomat.

Kebiasaannya membaca buku sejak kecil itu, menurut Ikang, telah membuka dan menambah wawasannya. Dan kegiatan itu terus berlanjut hingga sekarang sampai dia sudah menikah dengan artis Marissa Grace Haque, dan memiliki dua putrid yang sudah beranjak dewasa.

“Setiap hari saya terbiasa membaca sampai dua jam, waktunya bisa kapan saja. Saat ini yang banyak saya baca buku-buku tentang ekonomi dan gaya hidup,” ungkap Penyanyi Rock Terbaik versi Majalah Gadis pada 1986 ini.

Menurut Ikang, hobinya membaca tersebut juga diikuti oleh isterinya dan kedua anaknya. Di rumahnya saat tersedia dua buah perpustakaan, dengan ribuan judul buku.

“Isinya macam-macam sesuai dengan bacaan kesenangan masing-masing keluarga. Untuk saya lebih suka baca masalah ekonomi,” ujar Duta On Clinic ini di Jakarta beberapa waktu lalu di sela-sela seminar yang diadakan On Clinic.

Selain membaca, ternyata sejak kecil Ikang juga suka berkesenian. Darah seni mengalir dari ayahnya, yang dulu pemain Hawaiian, pencipta lagu, dan penyanyi. Ayahnya selalu mendorong Ikang untuk berkesenian, dan  saat berusia 10 tahun, dia dimasukkan ke Yamaha Musik di Jepang untuk kursus privat electone dan drum.

Ikang juga dimasukkan ke klub belajar beladiri. Saat di Jepang dia belajar karate. Setelah kembali ke Indonesia, dia menekuni pencak silat. Tak heran walau sudah berusia di atas 50 tahun, tubuhnya masih tetap energik dan bugar.

Menurut Ikang yang juga pengusaha properti ini, memperhatikan gaya hidup menjadi sangat penting, terutama dalam mejalani pola hidup sehat, dan selalu berupaya melakukan hal-hal yang positif.

Setiap hari dia berusaha menghindari makanan yang banyak lemak, dan berenang di rumahnya dua hari sekali, masing-masing satu jam. “Dulu saya juga olahraga barbel, tapi di usia sekarang ini paling cocok bagi saya adalah berenang, mengonsumsi makana sehat, dan baca buku, serta bermusik,” ungkap Ikang yang alumni master MBA (S2) di UGM  Yogyakarta ini. (MSU)

Marissa Haque Ikang Fawzi: "Manusia Sebenarnya Sedang Tidur"



Jakarta, 12 Juli, 2004
Oleh Marissa Haque Fawzi

Untuk Majalah Noor edisi September 2004.


Dalam sebuah perenungan panjang, tatkala kutatap lalu lalang manusia yang menyemut dalam sebuah perjalanan panjang Bintaro ke Jakarta Pusat, terbayang wajah-wajah banyak manusia melangkah dengan mata terpejam. Ah, mereka sedang tidur!

Annemarie Schimmel, seorang wanita keras hati namun halus budi yang dititipi Allah kecerdasan diatas rata-rata dengan kemampuan verbal yang sangat lancar, adalah salah seorang role model ku didunia Sufisme/Tasawuf. Dalam salah satu buku tulisannya yang berjudul Jiwaku adalah Wanita, didalam paragraf pembukanya diceritakan sebuah kisah tentang seorang guru India yang sedang berkunjung ke Damaskus, Syria.

Buku yang diceritakan tersebut adalah sebuah buku tua terbitan 1872 dengan judul Padmanaba dan Hasan. Disana sang guru India tersebut memperkenalkan awal langkah misteri kehidupan spiritual kepada seorang anak laki_laki yang bernama Hasan yang membawanya kesebuah ruang bawah tanah. Ada sebuah keranda yang berdampingan dengan bekas singgasana Raja teronggok, dikelilingi sekumpulan harta benda ratna mutu manikam yang tak ternilai. Pada keranda tersebut terpatri kata-kata “…sebenarnya manusia itu semua sedang tidur, ketika mereka meninggal dunia, pada saat itulah mereka sebenarnya terbangun.” Schimmel kemudian baru menyadari belakangan bahwa ternyata sepenggal kata-kata yang terpatri tersebut adalah hadis Rasulullah Muhammad yang amat disukai dikalangan para Sufi dan penyair dunia Islam.

Didalam konteks posisiku sebagai anggota DPR terpilih periode 2004-2009 melalui partai Politik PDI Perjuangan, aku merasakan sepotong tulisan yang saya kutip diatas dari buku Annemarie Schimmel, adalah sebuah metafora pula dari penggalan lain langkah kehidupanku dalam kaitan dengan dunia politik. Betapa kehidupan singkat manusia ini hanyalah sepenggal mimpi pendek bunga tidur yang akan menetukan sebuah kehidupan abadi lainnya setelah alam dunia ini. Betapa sesungguhnya mimpi pendek ini sangat silau dengan tipu daya yang menjerumuskan. Alangkah kita nantinya akan menyesali ayunan langkah kehidupan yang telah kita lakukan, saat kita menyadari bahwa dikala mati kelak tidak satupun harta dunia akan terbawa.

Menjadi seorang anggota DPR, merupakan amanah sekaligus ujian dan jebakan yang nyata, yang akan menguji apakah dipenghujung langkah hidupku kelak aku layak menjadi kekasih Allah dan sahabat Rasulullah. Dimana kebutuhan transendental merupakan intrinsik atau innate property yang membuat setiap manusia itu cinta Illahi—apapun agama yang dipeluknya—dan ingin bersatu dengan Nya dikehidupan abadi kelak. Saat itu adalah saat dimana manusia sudah benar-benar bangun dari tidurnya. Namun sekarang masalahnya. Apakah manusia mengetahui bahwa sebenarnya mereka itu sedang tidur pada saat mereka sedang melakukan aktifitas kesehariannya? Wallahualam bisawab. Semoga Allah SWT membimbing pada jalan keselamatan didunia dan di akhirat, dan mengumpulkan kita semua kelak didalam tempat yang sejuk serta penuh dengan cahaya cinta kasih abadi.


Marissa Haque Ikang Fawzi: "Manusia Sebenarnya Sedang Tidur"

Senin, 27 Agustus 2012

Marissa Haque Fawzi: "Indonesia's Cinematic Art Stumble and Surge"

Indonesia's Cinematic Art Stumble and Surge
 
World Paper, New York, USA
June, 2001


By. Marissa Haque Fawzi
An Indonesia Actress, is in Residence at Ohio University

 
Indonesia as a country among many countries in the world, cannot escape of the effect of globalization. More specially, the Indonesia film industry is influenced and shaped by the cultures and trends of many other nations. This assimilation necessary and positive for progress and increased quality as long as an individual maintains his/ her own touch, so to speak. This process is guaranteed by the fact that our world grows smaller everyday and the boundaries that once existed are no more.

The father of Indonesia film, Mr. Haji Usmar Ismail, was the first Indonesia artist to graduate from the School of Film at the University of California Los Angles as early as the 1940s. Generations to follow in the 1970’s were strongly predisposed to Russian production style and technique with Indonesian graduate from Moscow University such as Syumandjaja and Amy Priono.

Many artists to follow, Producers and Directors are products of Indonesia education and training. Their work, also distinguished, is colored by local wit and wisdom. A result of their efforts has been “Edutainment” or educational entertainment for the Indonesian citizen.

The only trouble with this is seen in the extremely small ratio of these artists in relation to the population of Indonesia, which far exceeds 200 million. If the love of money is the root of all evil it has also been the demise of the film industry in Indonesia. Many Directors viewed the production of movies as a monetary printing press.

The typical Indonesian film left nothing for the viewing public; there was no moral message and no real meaning. By the end of 1980s the film industry has stagnated and come to screeching halt. The Indonesia government further stifled the industry’s creativity and quality, and the differences from one film to the next became almost impossible to discern. It was a frustrating time for the movie-going public and even exasperating for those production teams that sought to create.

In 1990s gave us Garin Nugroho. As a young man, he graduated from University of Indonesia with a degree in Law and attended Indonesia’s Institut Kesenian Jakarta (Indonesian Art Institute). Garin Nugroho was determined to create new standard, and in the mid-1990s he began work. Nugroho presented an Eastern European style of production. Many Indonesian viewers did not understand this style of production and found the storylines difficult to follow, but his works have been honored (and have placed) at almost every international film festivals in which those have appeared.

Toward the end of 1999, a group of young Indonesian film graduates that, to date, do not wish to be identified with other movie production teams, came together to produce. They represent the new techno generation, seeking something new and different from all who came before them, and it is known to Indonesians today as the movie Kuldesak. This independent production team used a grassroots style marketing strategy throughout production. The film smacks of Quentin Tarantino. The theme song from thia movie was also honored by MTV at the MTV awards 2000 in New York.

The year 2000 was phenomenon for Rivai Riza (Film Director), Mira Lesmana and Triawan Munaf (Co Producers) with their award-winning production Petualangan Sherina or the Adventures of Sherina. The British honored this production with the presentation of the British Chavening Award Scholarship to Riza. This is only logical because Riza finished his Master of Arts in screenwriting at a British Institution in 1999. Riza ia rich with British style.

What do we see in the future of the Indonesian film industry? What style do we hope will prevail? There are so many possibilities, but that which cannot be denied and is clear to even those who would close their eyes is that American films are shown on every channel of Indonesian television and fill Indonesian theatres. In this lies an undeniable answer.

We are also aware that American film is a collection of assimilations from across the world. Thus we come full circle of globalization and interdependent world in which we live. We will, each and every one of us, learn from all of those around us without exception, if we hope to progress. This is a continual process that will go on for as long as we breathe.
Marissa Haque Fawzi: "Indonesia's Cinematic Art Stumble and Surge"


Damai dan Sentosa serta Kompak Lahir dan Bathin Keluarga Ikang Fawzi & Marissa Haque

Damai dan Sentosa serta Kompak Lahir dan Bathin Keluarga Ikang Fawzi & Marissa Haque
Damai dan Sentosa serta Kompak Lahir dan Bathin Keluarga Ikang Fawzi & Marissa Haque